Man ‘Arafa Nafsahu, Faqad ‘Arafa Rabbahu
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.
– Q.S. Asy-Syuura [42]: 11
MAN ‘Arafa Nafsahu, Faqad Arafa Rabbahu. “Siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Rabb-nya”. Begitulah kurang lebih makna dari sabda Rasulullah SAW tersebut.
Kata-kata itu sangat masyhur di kalangan para penempuh jalan penyucian jiwa. Meski begitu, tidak semua orang meyakini kata-kata tersebut adalah sabda Rasulullah SAW. Sebagian bersikeras bahwa itu bukan hadits. Sebagian lagi mengatakan hadits itu dha’if, bahkan palsu.
Walau jarang terdapat di kitab-kitab hadits sunni, namun hadits ini—dengan teks yang sama—bisa kita dapatkan di kitab Misbah Syari’ah dari cicit Rasulullah SAW, Ja’far as-Shadiq. Rasulullah SAW menyampaikan kata-kata agung tersebut kepada sahabat Ali r.a., dan hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ja’far as-Shadiq, yang memperolehnya dari jalur kakeknya, Ali r.a. Lisan agung Rasulullah SAW pernah menyampaikan kalimat itu pada sahabat Ali r.a., yang disebut Rasulullah SAW sebagai “gerbang dari ilmu-ilmu Rasulullah SAW”.
Apa maksud presisi kalimat tersebut? Seperti apa “mengenal diri” itu? Dan, bagaimana bisa dengan mengenal diri sendiri lalu menjadi mengenal Rabb? Apakah diri ini adalah Rabb? Apakah ini terkait dengan pantheisme—menyatunya wujud Tuhan dan wujud manusia?
Mari kita perhatikan sabda Beliau SAW tersebut. “Man ‘arafa nafsahu”. Siapa yang ‘arif akan nafs-nya—jiwanya. Sebenarnya bukan sekadar mengenal, tapi ‘arif. ‘Arif akan jiwanya. ‘Arif kurang lebih bermakna “sangat memahami”, “paham dengan sebenar-benarnya”.
Sedangkan dalam “faqad arafa rabbahu”, kata “faqad” berarti “maka pastilah”, atau “sudah barang tentu”. Ada kadar kepastian yang tercakup di sana, jauh lebih pasti derajatnya dari sekadar “akan”. “Faqad ‘arafa rabbahu”, berarti “maka pastilah akan ‘arif tentang Rabb-nya”.
“Siapa yang ‘arif akan jiwanya, maka pastilah akan ‘arif tentang Rabb-nya”, begitu kira-kira maknanya. Apa maksudnya?
Diri Kita yang Sejati
Diri kita yang sejati sesungguhnya bukan diri kita yang bisa dibedah dengan pisau bedah atau dengan berbagai teori psikologi kepribadian oleh para psikolog. Diri kita yang ini—yang jasadnya kita gunakan dalam interaksi, dalam bekerja, dalam berhubungan sosial dengan orang lain—sesungguhnya merupakan bentukan dari lingkungan, orangtua, pemikiran, norma, tren, atau paradigma yang ada di zaman kita masing-masing. Dengan kata lain, diri kita yang ini adalah hasil bentukan, dari dinamika lingkungan luar yang berinteraksi dengan aspek jasadi dan aspek psikis kita. Paduan komposisi dari semua itulah yang membentuk diri kita yang “jasadi”. Diri kita yang ini, meski unik, adalah diri yang semu. Ini bukan diri kita yang sesungguhnya, sebenarnya.
Sementara, yang dimaksud dan dipanggil Allah sebagai “diri” pada manusia, sejatinya adalah yang Dia sebut sebagai “nafs” dalam Al-Qur’an. Nafs, dalam bahasa kita, adalah “jiwa”.
Nafs-lah (jamak: anfus, jiwa-jiwa) yang dipanggil dan disumpah Allah untuk mempersaksikan bahwa Allah adalah Rabb-nya.
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَـٰذَا غَافِلِينَ
Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa-jiwa mereka: "Bukankah Aku ini Rabb-mu?" Mereka menjawab: "Betul, sungguh kami bersaksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang tidak ingat terhadap ini." – Q.S. Al-A’raaf [7]: 172
Nafs kita sudah ada bahkan sebelum alam semesta ada. Ia juga yang terus akan melanjutkan hidup di alam barzakh dan alam-alam berikutnya setelah kelak jasad kita dengan pikiran, hafalan dan semua gagasan yang menyertainya—dan semua dinamika psikis yang terkait dengannya—akan mati, lenyap, hancur terurai menjadi tanah.
Itulah sebabnya, akan sangat berbahaya jika kita memahami agama hanya berupa hafalan dalil dan konsep di kepala, namun tidak terpahami secara mengakar hingga ke jiwa. Seiring dengan hancurnya otak kita, maka semua konsep di dalamnya pun akan lenyap, sementara jiwa kita melanjutkan perjalanannya dengan tidak membawa apa-apa.
Nafs sendiri berbeda dengan hawwa nafs, atau yang biasa kita sebut hawa nafsu. Sebagaimana namanya, hawa nafsu adalah “hawa dari nafs”: hanya sekadar “hawa keinginan” dari jiwa. Hawa nafsu sesungguhnya adalah nafs yang palsu, karena keinginan-keinginannya sama-sama berasal dari dalam diri kita, sehingga kehendak hawa nafsu tidak mudah dibedakan dari kehendak jiwa.
Jiwa
Yang dimaksud dan dipanggil Allah sebagai "diri" pada manusia, sejatinya adalah yang Dia sebut sebagai “nafs” dalam Al-Qur’an. Nafs, dalam bahasa kita, adalah "jiwa". Diri kita yang sejati adalah nafs (jiwa) yang ada dalam diri kita masing-masing.
Jadi, diri kita yang sejati bukanlah jasad dengan segala dinamika psikis maupun psikologisnya. Diri kita yang sejati adalah nafs (jiwa) yang ada dalam diri kita masing-masing. Jiwa, namun bukan sembarang jiwa. Jiwa yang dimaksud sebagai diri manusia yang sejati adalah jiwa yang sudah terbebas dari dominasi hawa nafsunya, dari ikatan keduniawian, maupun dari daya-daya syahwati jasadnya. Nafs yang telah terbebas dari perbudakan syahwat dan hawa nafsunya inilah yang disebut “nafs yang tenang”.
Nafs yang tenang ini dalam Al-Qur’an disebut sebagai “Nafs Al-Muthma’innah”. Sebagaimana permukaan air yang telah tenang, pada kondisi nafs yang telah tenang inilah ia bisa melihat kembali pengetahuan tentang siapa dirinya, untuk apa dia diciptakan dan apa tugasnya—semua pengetahuan yang pernah Allah tanamkan kepadanya—pun akan terbuka kembali dan tampak dengan jelas baginya.
‘Arafa Nafsahu
Nafs-lah yang dahulu mempersaksikan diri kepada Allah, berbicara dengan-Nya dan menerima seluruh pengetahuan untuk menunjang tugas-tugas penciptaan yang harus kita laksanakan di dunia. Sedangkan diri kita yang jasad—termasuk dengan segala dinamika fisik, psikis, dan psikologisnya—sesungguhnya hanya kendaraan bagi sang jiwa untuk melaksanakan perannya di alam fisik ini. Diri kita yang ini usianya terbatas. Kelak, ia akan hancur menjadi tanah.
Secerdas-cerdasnya dan seindah-indahnya jasad seseorang, pada hakikatnya itu hanya seperti kecerdasan dan keindahan seekor kuda jika dibanding kecerdasan dan keindahan jiwa, sang pengendaranya. Kecerdasan dan keindahan jiwa sesungguhnya jutaan kali lipat dibanding jasadnya—jika saja jiwa berhasil membebaskan diri dari perbudakan hawa nafsu dan syahwatnya, dan berhasil membuka kembali ilmu-ilmu ilahiah yang Allah tanamkan dalam dadanya.
Nafs inilah yang harus kita kenali dengan se-’arif-’arif-nya, karena di tataran nafs-lah Allah menanam bibit pengetahuan agung tentang siapa kita sebenarnya, untuk fungsi apa kita diciptakan-Nya, dan bagaimana memperoleh segala prasarana untuk menjalankan tugas penciptaan itu. Bukan di jasad, bukan di otak, tapi di tataran nafs.
Penunggang Kuda
Secerdas-cerdasnya dan seindah-indahnya jasad seseorang, pada hakikatnya itu hanya seperti kecerdasan dan keindahan seekor kuda jika dibanding kecerdasan dan keindahan jiwa, sang pengendaranya.
Tentu, langkah awal untuk mengenal jiwa adalah dengan membebaskannya dulu dari waham, dari timbunan dosa, dari kungkungan sifat-sifat jasadi maupun dominasi syahwat dan hawa nafsu atas jiwa kita. Dalam bahasa agama, langkah ini disebut sebagai memulai perjalanan taubat—perjalanan kembali kepada Allah Ta’ala. Taubat berasal dari kata “taaba”, yang artinya kembali.
Sementara, alih-alih ‘arif akan jiwanya sendiri, sebagian besar manusia bukan saja belum mengenal jiwanya. Mereka bahkan belum bisa membedakan hawa nafsu dengan jiwanya sendiri, karena jiwanya sangat jauh terkubur dalam dosa dan sifat-sifat kejasadiahannya sendiri. Jiwanya sudah terlalu lemah karena tertimbun dosa-dosa membuatnya lumpuh, buta dan tuli, sehingga tak kuasa lagi untuk mengambil alih kendali atas kendaraannya sendiri—jasadnya. Pada umumnya, manusia sudah tidak lagi mampu membedakan mana suara hati nurani, mana kehendak hawa nafsu, mana keinginan syahwat, mana bisikan setan maupun mana kehendak jiwa. Semua terdengar sama saja di hatinya.
Tujuan Penciptaan Manusia
Terkait dengan tujuan penciptaan manusia, kita biasanya selalu merujuk pada ayat berikut,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan tidaklah Aku telah menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-Ku. – Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 56
Hanya sayangnya, kata “ya’bud” di sana biasanya hanya diterjemahkan sebagai “untuk beribadah”, dalam pengertian untuk melakukan shalat, puasa, zakat, haji dan semacamnya. Tujuan penciptaan kita seakan-akan hanya untuk melakukan ibadah ritual formal. Dengan memahami makna kata “ya’bud” hanya seperti ini, maka pada akhirnya tujuan hidup manusia dipahami hanya sebatas untuk mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya dalam rangka seleksi untuk memasuki surga atau neraka saja.
Padahal, kata “ya’bud” di sana berasal dari kata ‘abid, kata benda yang bermakna hamba, budak, atau seorang abdi. Ya’bud, kata kerja, bermakna “menjadikan diri sebagai hamba”, atau tepatnya adalah “mengabdi”. Itulah tujuan penciptaan kita: untuk melaksanakan sebuah pengabdian—bukan sekadar untuk beribadah.
Mengabdi, dalam tataran pengertian yang paling luar dan paling sederhana, bagi umat Rasulullah Muhammad SAW adalah melakukan apa saja yang diperintahkan dalam koridor syariat yang dibawa oleh Beliau. Kita melakukan shalat, puasa, zakat dan semacamnya—kita “beribadah”. Namun, dalam tataran yang lebih dalam, yang dimaksud “ya’bud” (mengabdi) di sini bukan semata-mata sekadar ritual ibadah formal.
Mengabdi, sebagaimana apa yang dilakukan seorang ‘abid, adalah melaksanakan perintah tuannya. Dan kebaktian yang tertinggi seorang ‘abid pada tuannya, adalah menjalankan perannya untuk tuannya, sesuai dengan hal terbaik yang mampu dilakukannya. Seorang hamba akan mempersembahkan kemampuan dan karyanya yang terbaik untuk tuannya—atau tepatnya, melakukan hal terbaik yang bisa dilakukannya atas nama tuannya. Inilah inti dari menjadi seorang hamba: melaksanakan sebuah pengabdian untuk tuannya.
‘Arif akan nafs, ‘Arif akan Tujuan Penciptaan Diri
Masing-masing manusia mempunyai sebuah fungsi spesifik, sebuah peran yang harus dilakukannya atas nama Allah, yang menjadi alasan penciptaannya. Dengan kata lain, untuk tugas itulah seorang manusia diciptakan. Dan, jika ia berhasil menemukan tugasnya itu—yang pengetahuan tentang ini ada dalam jiwanya—maka ia akan menjadi yang terbaik dalam bidang tugasnya tersebut. Tugas tersebut, atau amal tersebut, atau tepatnya—pelaksanaan pengabdian tersebut—akan Allah mudahkan baginya.
Dari Imran r.a., saya bertanya, “Ya Rasulullah, apa dasarnya amal orang yang beramal?” Rasulullah SAW menjawab, “Tiap-tiap diri dimudahkan mengerjakan sebagaimana dia telah diciptakan untuk (amal) itu.” – H.R. Bukhari no. 2026
“…(Ya Rasulullah) apakah gunanya amal orang-orang yang beramal?” Beliau SAW menjawab, “Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya.” – H.R. Bukhari no. 1777
Dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan bagimu. – Q.S. An-Nahl [16]: 69
“Tiap-tiap diri”, sabda Rasulullah SAW. Spesifik. Setiap orang. Dengan mengetahui fungsi spesifik kita masing-masing, maka kita mulai melaksanakan ibadah (pengabdian) yang paling hakiki, yang sesungguhnya, yang sesuai dengan fungsi kita diciptakan. Sebagai contoh, shalatnya seekor burung ada di dalam bentuk membuka sayapnya ketika ia terbang, dan shalatnya seekor ikan ada di dalam kondisi saat ia berenang di dalam air. Masing-masing kita pun memiliki cara pengabdian yang spesifik, jika kita berhasil menemukan fungsi untuk apa kita diciptakan-Nya.
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّـهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالطَّيْرُ صَافَّاتٍ ۖ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ ۗ وَاللَّـهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya ber-tasbih kepada Allah siapa pun yang ada di petala langit dan bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara shalatnya dan cara tasbih-nya masing-masing. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan. – Q.S. An-Nuur [24]: 41
Inilah pengabdian hakiki seorang hamba pada Rabb-nya: melaksanakan pengabdian dengan cara menjalankan fungsi spesifik diri kita, sesuai dengan untuk apa kita diciptakan-Nya sejak awal. Fungsi diri yang spesifik inilah yang disebut dengan “misi hidup’ atau “tugas kelahiran”.
Kebaktian tertinggi seorang ‘abid adalah dengan menggunakan kemampuan terbaik yang dimilikinya—melaksanakan tujuan penciptaannya dengan segala perangkat yang telah diletakkan Allah dalam jiwanya—untuk menjalankan peran khususnya atas nama Allah Ta’ala. Ia menyampaikan khazanah Rabb-nya bagi alam semestanya.
Inilah fungsi hakikinya sebagai manusia: menjadi “perpanjangan tangan Allah” untuk memakmurkan alam semestanya sendiri. Inilah makna sesungguhnya dari kata “khalifah”: pemakmur, bukan semata-mata penguasa.
‘Arif akan nafs, sesungguhnya sama artinya dengan memahami alasan penciptaan kita dan amal tertinggi kita: untuk tugas dan peran apa kita diciptakan. ‘Arif terhadap nafs sama dengan memahami sepenuhnya misi hidup kita dan melaksanakannya.
Jadi, itulah makna “Man ‘Arafa Nafsahu”: siapa yang ‘arif akan nafs-nya, pada dasarnya sama artinya dengan “siapa yang memahami tujuan penciptaannya”.
Ksatria
Kebaktian tertinggi seorang ‘abid adalah dengan menggunakan kemampuan terbaik yang dimilikinya, melaksanakan tujuan penciptaannya dengan segala perangkat yang telah diletakkan Allah dalam jiwanya—untuk menjalankan peran khususnya atas nama Allah Ta’ala.
Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh At-Thabrani tentang ke-’arif-an seorang mukmin:
Sahabat Anas bin Malik meriwayatkan, suatu ketika Rasulullah SAW sedang berjalan-jalan. Beliau bertemu dengan seorang sahabat Anshar bernama Haritsah al-Anshari r.a.
Rasulullah SAW bertanya: “Bagaimana keadaanmu pagi ini, ya Haritsah?”
Haritsah menjawab, “Pagi ini hamba telah menjadi mu’min yang haqq (mu’min haqqan)”.
Rasulullah SAW menjawab, “Pikirkanlah dulu apa-apa yang akan engkau katakan, sebab segala sesuatu ada hakikatnya (fa inna likulli syay’in haqiqatan). Lalu apa hakikat [yang Allah tampakkan sebagai bukti] dari keimananmu itu (fa ma haqiqatu imanika)?”
Jawabnya, “Jiwa hamba sudah lepas dari dunia. Hamba berjaga di malam hari (untuk beribadah), dan hamba kehausan di siang hari (karena berpuasa). Dan sekarang hamba melihat arsy Rabb hamba dengan nyata. Dan sekarang hamba melihat para ahli surga saling mengunjungi, dan hamba melihat para ahli neraka menjerit-jerit di dalamnya.”
Dan berkata Rasulullah SAW “Engkau telah ‘arif (‘arafta), ya Haritsah. Maka jagalah keadaanmu itu.”
– H. R. At-Thabrani
Faqad ‘Arafa Rabbahu
Lalu apa hubungan ‘arif akan nafs dengan ‘arif akan Rabb?
Makna “Rabb” tidak otomatis sama dengan kata “Allah”. Sedikit berbeda dengan makna Allah sebagai “ilah” (sembahan, tempat penghambaan), makna Rabb adalah pangkat, peran Allah Ta’ala dalam memelihara—menjaga, memberi rizki, melindungi, memakmurkan—seluruh semesta alam-alam. Pendek kata, “Rabb” adalah sebutan bagi Allah dalam fungsi rububiyah-Nya. ‘Arif akan Rabb adalah ‘arif akan peran Allah Ta’ala dalam menghadapkan wajah-Nya pada makhluk.
Ketika seorang hamba telah menemukan tujuan penciptaan dirinya, lalu melaksanakan hal terbaik yang bisa dilakukannya sebagai sebuah pengabdian kepada Allah dan atas nama Allah, maka pada hakikatnya ia sedang menolong Allah dengan hal terbaik yang bisa ia lakukan. Dan barangsiapa yang menolong Allah, maka Allah pun pasti akan menolongnya pula.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُوا اللَّـهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. – Q.S. Muhammad [47]: 7
Apa pertolongan Allah yang terbesar pada seorang hamba? Yaitu dengan senantiasa memberi petunjuk pada si hamba tanpa henti-hentinya, baik diminta ataupun tidak. Dengan demikian, si hamba menjadi termasuk ke dalam golongan orang-orang Al-Muflihun (orang-orang yang beruntung).
أُولَـٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ ۖ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb-nya. Merekalah Al-Muflihun. – Q.S. Al-Baqarah [2]: 5
Petunjuk yang tiada henti-hentinya ini adalah untuk mengukuhkan si hamba tetap dalam shirath Al-Mustaqim, jalan yang lurus, jalannya “orang-orang yang diberi nikmat”. Dengan demikian, si hamba memperoleh apa yang selalu diminta dalam setiap rakaat shalatnya.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Hanya kepada-Mu kami mengabdi, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan: tunjukilah kami ke Shirath Al-Mustaqim, jalan mereka yang kepadanya Engkau anugerahkan nikmat, bukan jalannya mereka yang sesat. – Q.S. Al-Fatihah [1]: 5-7
Setelah si hamba kukuh menapaki shirath Al-Mustaqim-nya, maka barulah ia akan mengenal Rabb-nya, karena sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an,
إِنَّ رَبِّي عَلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Sesungguhnya Rabb-ku di atas Shiratim-Mustaqim. – Q.S. Huud [11]: 56
Inilah makna kalimat Rasulullah SAW “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”: barangsiapa yang berhasil memahami tujuan penciptaannya (yang pengetahuan itu tersimpan dalam nafs-nya), maka ia akan Allah tetapkan di dalam shirath Al-Mustaqim-nya (sehingga ia akan mengenal Rabb-nya sejak di dunia ini, karena Rabb ada di atas Shirath Al-Mustaqim).
Resume
Barang siapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya. Barangsiapa yang berhasil memahami tujuan penciptaannya, maka ia akan Allah tetapkan di dalam Shirath Al-Mustaqim-nya (sehingga ia akan mengenal Rabb-nya).
Komentar
Posting Komentar